Banggakah Menjadi Warga Negara Indonesia?

“Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terlalu sensi,” kata Pandji Pragiwaksono dalam show stadup comedy di Comedy Cafe Indonesia tahun 2011 lalu. “Sehingga, terlalu banyak kita berantem, untuk masalah yang tak perlu berantem. Kita kehabisan waktu untuk bersatu untuk melakukan sesuatu,” lanjutnya.

Pernyataan tersebut sangat menyindir rakyat Indonesia yang memang sulit sekali untuk bersatu. Mereka selalu membanggakan suku, agama, dan ras mereka, dan kebanyakan meremehkan atau memojokkan suku, agama, dan ras lain di luar mereka. Contoh simpelnya, banyak pribumi yang tidak suka dengan etnis Tioghoa.

Tanggal 8 Januari 2013 lalu, ada seorang laki-laki dewasa yang berasal dari Magelang, Jawa Tengah, ikut serta dalam suatu program opini publik di salah satu stasiun TV swasta. Ia mengatakan, “Ingat! Semoga para capres mendengarnya! Jika tidak memiliki nama berakhiran “O” (bahasa Jawa), tidak akan bisa menjadi seorang presiden!”.

Entah apa yang dipikirkan olehnya. Mengaku warga negara Indonesia, tapi secara tidak langsung ia memojokkan suku lain. Secara tidak langsung pula, ia merasa bahwa yang berhak menjadi pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia hanyalah orang-orang dari keturunan Jawa saja.

Salah satu akibat dari membudayakan sikap sensi dalam diri kita, yaitu dapat menjadikan diri kita sebagai manusia yang selalu memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan, dan selalu menanggapi serius hal yang tidak perlu diseriusi. Contohnya, seorang anak muda yang sedang bercanda ringan dan membuat temannya hanya sebagai obyek candaannya. Saat ditegur oleh orang tuanya. “Kalau bercanda pikir-pikir dulu, dong,” kata orang tuanya.

Bayangkan saja, hidup kita sudah dipusingkan oleh kegiatan berpikir. Berpikir tentang segala realita dan kewajiban yang telah kita miliki. Tapi pada saat kita bercanda, justru disuruh berpikir lagi. Padahal, bercanda adalah sebuah kegiatan yang menyegarkan pikiran dengan tertawa, meleburkan sementara segala permasalahan yang membuat kepala pusing, dan menyehatkan badan kita- karena tertawa dan bahagia membuat kita sehat- saja harus berpikir terlebih dahulu. Mau senang sesaat tapi harus membebani diri dengan berpikir kembali.

Memang, kebebasan adalah hak tiap manusia yang sudah pasti memiliki batasan-batasan tersendiri. Namun budaya inilah yang harus diubah. Jika kita terlalu mimikirkan sesuatu secara berlebihan, sudah pasti kita akan selalu serius dalam menanggapi sesuatu.

Anggap saja Indonesia adalah seorang manusia yang juga bisa terkena penyakit karena terlalu banyak berpikir. Karena terlalu serius dan selalu memikirkan hal yang tidak perlu, sekarang Indonesia justru terjangkiti penyakit. Penyakit tersebut seperti peradangan sendi hukum dan virus korupsi yang menjalar keseluruh tubuh bangsa.

Politisi yang sebelum mendapatkan kursi kepemimpinannya selalu berkata atas nama “anti korupsi”, justru banyak yang menjadi tersangka kasus korupsi. Calon pemimpin yang sebelumnya menjadi pemimpi sudah mengumbar janji, justru banyak yang menyalahgunakan posisinya sebagai wakil rakyat.

Angelina Sondakh yang menjadi tersangka kasus korupsi dalam jumlah miliaran, justru hanya dihukum 4,5 tahun. Sedangkan pencopet, yang hanya mendapatkan uang kisaran ratusan ribu, lebih sering digebuki massa ketika tertangkap basah sedang mencopet.

Persamaan hak dalam beragama juga tidak berjalan dengan baik. Buktinya, masih banyak umat Kristiani yang sulit meminta izin membangun Gereja. Padahal Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sudah menjelaskan kebebasan dalam beragama. “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Lalu, banggakah menjadi warga negara yang merasa kepercayaan yang dianutnya adalah yang paling benar? Banggakah jika kita bermusuhan hanya karena atas dasar perbedaan keyakinan, suku, dan ras? Banggakah Anda yang sudah berhasil membohongi rakyatnya sendiri? Banggakah Anda yang memusuhi saudara setanah airnya sendiri?

Indonesia itu satu. Jika satu orang salah, maka semuanya ikut salah. Dalam suatu sistem, jika satu sistem saja tidak berjalan lancar, maka fungsi sistem yang lain akan terganggu.
Inikah buah dari keseriusan dalam berpikir rakyat Indonesia yang merasa paling benar dan pintar?

Bhineka Tunggal Ika bukan hanya milik orang Jawa. Pancasila bukan hanya milik orang Jakarta. Semuanya milik Indonesia. Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke. Dari Pulau Sumatera sampai Pulau Papua.

Berpikir jernih dan junjung nama Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan menjunjung suku dan rasnya masing-masing. Mendaur ulang ego menjadi ketenangan. Lalu bakar ketenangan itu dengan semangat Bhineka Tunggal Ika untuk menseriusi pelaksanaan Pancasila.

Agar Indonesia tetap menjadi negara yang berdiri atas Ketuhan Yang Maha Esa.

Menjunjung tinggi Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang satu.

Menjadi negara yang rakyatnya dipimpin oleh khimat kebijaksanaan dalam perusyawaratan/ perwakilan.

Dan menjadi negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Jika negara ini tidak kunjung sembuh dari penyakitnya, amalan apa yang akan dibawa ke hadapan Tuhan jika negara ini mati?
Tulisan saya ini juga dipublikasikan oleh Berita Satu tanggal 11 Januari 2013

Leave a comment